Jumat, 20 Mei 2016

Sekolah yang Aneh

(Koleksi Tulisan Ustadz Fauzil Adhim)


Bagaimana mungkin kita bicara cara, tetapi tidak jelas apa tujuannya. Sangat mengherankan kalau kita sibuk berbicara tentang metode pembelajaran, tetapi belum merumuskan apa yang ingin kita hasilkan dari pembelajaran itu. Sama anehnya dengan pembicaraan yang riuh rendah tentang kurikulum, tetapi tidak ada pembicaraan tentang lulusan seperti apa yang ingin kita hasilkan dan mengapa itu kita perlukan. Serupa dengan itu, sering guru bertanya bagaimana cara efektif menangani kenakalan siswa, tetapi mengabaikan apa sebabnya siswa melakukan kenakalan yang ia keluhkan. Mereka ingin menjadi guru yang disegani, tetapi tidak memahami siapa yang dihadapi.
Banyak guru yang terbiasa menuliskan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus dari materi yang diajarkan, tetapi sedikit sekali yang mampu merumuskan sendiri. Padahal, sangat berbeda antara menuliskan dengan merumuskan. Seorang guru yang hanya menuliskan, hampir pasti hanya mengajarkan materi yang ada tanpa mampu mengantarkan peserta untuk untuk benar-benar memahami. Atau mereka memahami yang sepotong, tetapi sulit melihat gambarannya secara keseluruhan. Akibatnya, pembelajaran di kelas hanya menyiapkan siswa untuk mampu menjawab pertanyaan, mengerjakan soal dan menyebutkan kembali apa yang telah diterima. Mereka memiliki kemampuan (ability) untuk mengerjakan soal-soal, tetapi tidak memiliki kompetensi. Sepintas sama, tetapi sangat berbeda antara keduanya.

Tanpa memahami yang umum (mujmal) dari yang rinci, sebagaimana memahami yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), maka proses pembelajaran akan cenderung terjebak pada cara. Tidak ada kreativitas, tidak ada inovasi. Yang lebih parah, pengajar bahkan bisa menolak ide-ide unik siswa dalam menyelesaikan masalah. Sebabnya, pengajar tidak memahami arah pembelajaran. Atau pengajar bisa merespon dengan baik ide-ide unik siswa, tetapi tidak mampu menautkan dengan tujuan pendidikan.

Sulit membayangkan, tetapi inilah yang terjadi dalam pendidikan kita. Bukan hal yang aneh jika Anda bertanya kepada guru tentang tujuan pendidikan, arah pembelajaran atau yang serupa dengan itu, lalu memperoleh jawaban yang indah tapi tidak jelas gambarannya. Jangan kaget juga jika Anda bahkan tidak memperoleh jawaban minimal yang memuaskan. Sebabnya, banyak guru yang menjalani pekerjaan tanpa memiliki missi yang kuat, visi yang jelas dan kecintaan yang tinggi (passion) terhadap profesi. Lebih parah lagi, jangankan guru, sekolah pun tidak memiliki impian yang jelas karena mereka memang tidak memiliki alasan mendasar yang kuat mengapa harus mendirikan lembaga pendidikan. Padahal, alasan mendasar inilah yang seharusnya senantiasa mengawal sekaligus memandu proses pembelajaran dan pendidikan agar tidak kehilangan “ruh”.

Lemahnya missi dan miskinnya pemahaman yang utuh terhadap konsep pendidikan yang dijalankan, menyebabkan guru sulit melihat jauh ke depan dari setiap hal yang ia terapkan. Guru lebih banyak memperhatikan efek seketika, paling jauh efek jangka pendek dari proses pembelajaran. Kadang guru bahkan tidak peduli dengan apa yang terjadi selagi peserta didik masih menunjukkan kemampuan menyerap pelajaran dengan “relatif” baik.Yang lebih parah, guru bahkan tidak peduli apa yang terjadi. Ia berdiri di depan kelas bukan untuk mengajar dan mengelola kelas. Ia berdiri di depan kelas hanya karena ia dibayar untuk itu. Berbicara panjang lebar tentang materi yang diajarkan, tetapi tidak peduli apa yang terjadi pada peserta didik. Mendengarkan atau tidak, menyimak atau acuh, ia tidak peduli. Ia tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan masalah. Kalau kemudian merasa terganggu, jurus yang paling mudah adalah mengadukan kepada orangtua agar mendidik anaknya dengan baik. Padahal orangtua tidak menempuh pendidikan keguruan.
Rasanya aneh, tetapi orang-orang yang tak layak menjadi guru –atau bahkan sekedar pengajar—agaknya semakin banyak menyesaki ruang-ruang kelas anak kita.
Jika guru tidak memiliki missi ideologis yang kuat mengapa memilih profesi sebagai pendidik dan pada saat yang sama miskin konsep, hampir pasti ia hanya memperhatikan efektivitas pembelajaran. Bentuknya bisa berupa perhatian besar terhadap metode-metode paling praktis yang memudahkan pembelajaran hingga yang mencari jalan pintas agar anak-anak bisa jenius secara instant. Bisa juga berupa upaya sungguh-sungguh agar anak mengerti apa yang diajarkan, tetapi tidak jarang yang hanya mencari segala cara agar siswa mampu mengerjakan soal meskipun ia tahu bahwa siswa sebenarnya tidak memiliki penguasaan materi yang matang. Sikap yang pertama, yakni kesungguhan agar anak mengerti apa yang diajarkan, merupakan hal yang baik dan sepatutnya dimiliki setiap guru. Tetapi sekali lagi, tanpa penguasaan konsep yang matang, guru mengajar hanya sebatas agar siswa mampu memahami pelajaran. Tidak lebih dari itu. Siswa tidak mampu melihat hubungan antara apa yang ia pelajari dengan kehidupan sehari-hari maupun dengan pelajaran-pelajaran lain.

Sementara tidak adanya missi ideologis pada diri guru menyebabkan tidak mungkin ada proses integrasi antara nilai-nilai dengan materi pelajaran. Boleh jadi ada penggabungan antara agama dengan materi pelajaran, tetapi itu bukan integrasi. Bukan terpadu. Penggabungan itu hanya menempelkan saja.

Nah.

1 komentar:

  1. The Ultimate Guide to Baccarat (online) | Bet UK
    Learn the game and how to play it. The number of players is also the number of hands. Players can either worrione bet on the dealer's septcasino total and the febcasino number of

    BalasHapus